Langsung ke konten utama

Mencela Agama Islam





Hukum


وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?”. [at Taubah/9 : 65].

لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [at- Taubah/9 : 66].

Ayat ini menjelaskan hukum memperolok-olok Allah, RasulNya, ayat-ayatNya, agamaNya dan syiar-syiar agama, yaitu hukumnya kafir (walaupun hanya bersenda gurau). Barangsiapa memperolok-olok RasulNya, berarti ia telah memperolok-olok Allah. Barangsiapa memperolok-olok ayat-ayatNya, berarti ia telah memperolok-olok RasulNya. Barangsiapa memperolok-olok salah satu daripadanya, berarti ia memperolok-olok seluruhnya. Perbuatan yang dilakukan oleh kaum munafikin itu adalah memperolok-olok Rasul dan sahabat Beliau, lalu turunlah ayat ini sebagai jawabannya.

Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah juga berkata,
وأن من استهزأ بشيء من كتاب اللّه أو سنة رسوله الثابتة عنه، أو سخر بذلك، أو تنقصه، أو استهزأ بالرسول أو تنقصه، فإنه كافر باللّه العظيم، وأن التوبة مقبولة من كل ذنب، وإن كان عظيمًا‏.
“Bahwa barangsiapa yang mempermainkan, melecehkan atau menghina satu ayat Al-Qur’an atau sunnah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam yang shahih, atau mengolok-olok serta merendahkan diri Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka dia kafir kepada Allah yang Maha Agung. Dan bahwa taubat akan diterima untuk semua perbuatan dosa, meskipun dosa besar.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 197]


Hukuman bagi penghina agama


istihza’ adalah tindakan yang sangat berlawanan dengan prinsip keimanan. Seseorang yang beriman tidak mungkin ada dalam hatinya muncul sikap pelecehan atau peremehan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan agama. Para ulama sepakat bahwa pelaku istihza’ fiddien (menghina agama) adalah kafir, keluar dari agama Islam dan hukumannya adalah dibunuh. Orang yang menciptakan dan menyebarkan pendapat yang merusak atau menghina, mengingkari ataupun menyelewengkan Islam ternyata dalam sejarah Islam pun dibunuh.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Bahwasannya ada seorang laki-laki buta yang mempunyai ummu walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya) yang biasa mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan merendahkannya. Laki-laki tersebut telah mencegahnya, namun ia (ummu walad) tidak mau berhenti. Laki-laki itu juga telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau.
Hingga pada satu malam, ummu walad itu kembali mencaci dan merendahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Laki-laki itu lalu mengambil pedang dan meletakkan di perut budaknya, dan kemudian ia menekannya hingga membunuhnya. Akibatnya, keluarlah dua orang janin dari antara kedua kakinya. Darahnya menodai tempat tidurnya.
Di pagi harinya, peristiwa itu disebutkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan orang-orang dan bersabda:

“Aku bersumpah dengan nama Allah agar laki-laki yang melakukan perbuatan itu berdiri sekarang juga di hadapanku”.


Lalu, laki-laki buta itu berdiri dan berjalan melewati orang-orang dengan gemetar hingga kemudian duduk di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata:
“Wahai Rasulullah, akulah pembunuhnya. Wanita itu biasa mencaci dan merendahkanmu. Aku sudah mencegahnya, namun ia tidak mau berhenti. Dan aku pun telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Aku mempunyai anak darinya yang sangat cantik laksana dua buah mutiara.
Wanita itu adalah teman hidupku. Namun kemarin, ia kembali mencaci dan merendahkanmu. Kemudian aku pun mengambil pedang lalu aku letakkan di perutnya dan aku tekan hingga aku membunuhnya”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saksikanlah bahwa darah wanita itu sia-sia.” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4361, An-Nasaa’iy no. 4070, dan yang lainnya, shahih)

Larangan menjadikan agama sebagai bahan candaan,lawakan, dan olok-olok

Hal ini sangat keras peringatannya. Allah berfirman,

ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ۚ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya BERSENDA GURAU dan BERMAIN-MAIN saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu BEROLOK-OLOK?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… [At Taubah : 65-66]

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa hukumnya sangat berat yaitu bisa keluar dari agama Islam. Beliau berkata,
‏ فإن الاستهزاء باللّه وآياته ورسوله كفر مخرج عن الدين لأن أصل الدين مبني على تعظيم اللّه، وتعظيم دينه ورسله
“Mengolok-olok dalam agama, ayat Al-Quran dan Rasul-Nya termasuk kekafiran yang bisa mengeluarkam dari Islam, karena agama ini dibangun di atas pengagungan kepada Allah, agama dan Rasul-Nya.”

Karena memang agama ini adalah suatu yang mulia dan sangat tidak layak jika digunakan untuk jadi bahan candaan atau lawakan. Ingatkah kita ada aturan di bandara, “Bagi yang bercanda membawa bom di bandara, bisa terkena pasal hukuman pidana”. Jika urusan dunia seperti ini saja tidak boleh, tentu urusan agama lebih tidak boleh lagi.
Perlu diperhatikan juga bahwa menjadikan agama sebagai candaan atau mem-plesetkan istilah-istilah agama adalah kebiasaan orang Yahudi, sebagaimana Allah berfirman,

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻻَ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺭَﺍﻋِﻨَﺎ ﻭَﻗُﻮﻟُﻮﺍ ﺍﻧﻈُﺮْﻧَﺎ ﻭَﺍﺳْﻤَﻌُﻮﺍ ﻭَﻟِﻠْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. [Al-Baqarah/2:104].

Raa’ina berarti “Sudilah engkau memperhatikan kami”. Yaitu kebiasaan para sahabat ketika berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yahudi mem-plesetkan menjadi “Ru’unah” yang artinya sangat dungu atau sangat tolol. Allah memerintahkan sahabat menggantinya dengan perkataan “undzurna” yang maknanya sama.


Ini menjadi peringatan bagi para komedian, aktivis stand-up comedy dan para pelawak agar hendaknya berhati-hati dan kita doakan kebaikan kepada mereka agar meninggalkan hal ini. Terlebih-lebih terlalu banyak tertawa bisa mematikan hati dan mengeraskan hati karena kebahagiaan sejati bukan dengan terlalu sering tertawa bahkan berlebihan sampai terbahak-bahak.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻻَ ﺗُﻜْﺜِﺮُ ﺍﻟﻀَّﺤَﻚَ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛَﺜْﺮَﺓَ ﺍﻟﻀَّﺤَﻚِ ﺗُﻤِﻴْﺖُ ﺍﻟﻘَﻠْﺐَ

“Janganlah terlalu banyak tertawa karena banyak tertawa bisa mematikan hati.”




Apakah Taubat menggugurkan Hadd?


Bagi penghina Allah:

Para ulama berbeda pendapat apakah Taubatnya di dunia diterima atau tidak -dalam kata lain apakah taubatnya tersebut menggugurkan hukuman atau tidak- jika ia bertaubat setelah melakukan amalan atau mengucapkan hinaan/celaan terhadap Allah Ta’ala. Juga apakah ia harus disuruh bertaubat terlebih dahulu atau langsung dihukum bunuh dan taubatnya tidak dihiraukan, adapun perihal batinnya menjadi urusan Allah ? Mereka berbeda pendapat dalam dua pendapat :

Pendapat Pertama :

Taubatnya tidak diterima, dan wajib dibunuh tanpa harus diminta untuk bertaubat terlebih dahulu, adapun jika ia bertaubat maka itu urusannya dengan Allah diakhirat kelak. Pendapat ini populer dalam mazhab hanabilah dan sekelompok ahli fiqh, dan merupakan pendapat Umar bin Al-Khath-thab, Ibnu Abbas, dan selain mereka, juga merupakan pendapat Ahmad bin Hanbal yang populer darinya.
Alasan pendapat ini : bahwasanya taubat tidaklah membatalkan adanya hukuman atas kezaliman lahir, serta tidak menghilangkan mudharat pada umat manusia yang diakibatkan celaan terhadap Allah. Andai taubatnya diterima maka manusia lainnya akan menganggap remeh dosa mencela dan menghina Allah. Atau andai ia menampakkan sikap taubat ketika diperhadapkan pada peradilan dan hukum, lalu setelah itu ia dibebaskan, maka ini akan mengantarkan manusia pada kekufuran, dan meremehkan besarnya dampak kekufuran tersebut dalam diri mereka. Padahal hukuman dan had disyariatkan sebagai efek jera bagi penjahat, dan penyuci dosa-dosanya, serta sebagai ancaman bagi orang lain yang sepertinya, sehingga jika menerima taubatnya, ini akan menghilangkan tujuan dari hukuman tersebut.

Pendapat Kedua :

Bahwa ia harus diminta untuk bertaubat, dan taubatnya diterima jika ia benar-benar bertaubat, dan berjanji tidak lagi mengulangi kejahatannya. Pendapat ini dikatakan oleh jumhur ahli fiqh.
Alasan pendapat ini : Bahwasanya mencela Allah adalah suatu kekafiran, dan taubatnya seorang kafir dari segala jenis kekafiran hukumnya diterima, seperti kaum musyrikin, penyembah berhala, dan kaum atheis yang masuk islam. Masuknya mereka kedalam islam serta merta menghapus kekafiran mereka yang sebelumnya, karena Allah ta’ala menerima taubatnya orang yang bertaubat, dan megampuninya. Ini seperti halnya kezaliman terhadap Allah dengan mencela-Nya, dan merupakan hak-Nya untuk mengampuni pelakunya atau tidak, yang mana Dia telah berjanji untuk mengampuni pelakunya (jika bertaubat), dan menerima taubat setiap musyrik. Tentunya hal ini berbeda dengan mencela Nabi shallallahu’alaihi wasallam, sebab ia merupakan hak Nabi yang wajib dibalaskan, karena ia telah wafat dan tidak akan mungkin memaafkan orang yang mencelanya. Dasar dari hal ini adalah membalaskan hak Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang agung. Sehingga mencelanya merupakan kekafiran, dan pelakunya wajib untuk dijatuhkan hukum bunuh atasnya. Ditambah lagi, pencelaan terhadap beliau sangat berdampak negatif atas kemuliaannya dihadapan manusia, dan melemahkan derajatnya dalam hati, ini berbeda dengan dampak negatif mencela Allah yang mudharatnya hanya kembali kepada dirinya sendiri .


Namun yang benar dari dua pendapat diatas adalah : 

bahwa orang yang mencela Allah tabaaraka wata’ala wajib untuk dihukum bunuh dan tidak perlu diminta untuk bertaubat terlebih dahulu, adapun jika ia benar-benar bertaubat maka itu adalah urusan batinnnya dengan Allah ta’ala ketika ia menghadap-Nya, apakah Allah akan menetapkan keadilan-Nya (mengazabnya) atau memberikan ampunan-Nya. Adapun orang yang mencela-Nya lalu bertaubat dan menampakkan taubatnya sebelum ia diketahui dan ditangkap, maka taubatnya diterima karena adanya kejujuran yang nampak dari taubatnya, hukumnya sama dengan orang kafir yang masuk islam secara ikhlas, walaupun sebelumnya mereka mengaku telah mencela Allah ta’ala.


Bagi penghina Rasulullah:

Para ulama sepakat bahwa jika seseorang bertaubat secara tulus dan mengaku menyesal atas apa yang ia kerjakan, taubatnya akan membawa kebaikan baginya di hari kebangkitan dan Allah akan mengampuninya.

Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai status taubatnnya, apakah taubatnya akan diterima di dunia sehingga pelakunya menjadi bebas dari hukuman di dunia. 

Imam Malik dan Imam Ahmad adalah ulama yang berpendapat bahwa taubatnya tidak diterima di dunia, dan bahwa dia harus dibunuh meski dia telah bertaubat. 

Mereka mendasarkan keputusannya kepada Sunnah dan pemahaman yang lurus terhadap hadist tersebut: 

Di dalam Sunnah, Abu Dawud (2683) meriwayatkan bahwa Saad bin Abi Waqash mengatakan: "Pada hari penaklukan Mekkah, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam memberi jaminan keamanan kepada semua orang kecuali kepada empat pria dan dua wanita, dan beliau menyebutkan nama-nama mereka, termasuk Ibn Abi Sarh... Terkait Ibn Abi Sarh, dia datang bersama Uthmaan ibn Affaan ketika Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam memanggil semua orang untuk berbaiat kepadanya. Ibn Abi Sarh lantas muncul dan berdiri di depan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Kepada Rasulullah dia berkata, "Ya Rasulullah, terimalah baiat dari Abdullah ini." Beliau lantas menaikkan pandangannya, lalu memandangnya tiga kali. Beliau sempat menolaknya, lalu menerima baiatnya setelah permohonan ketiga. Lalu beliau berpaling kepada para sahabatnya dan bersabda: "Tidak adakah di antara kalian orang yang paham (isyaratku tadi) lalu bangkit mendatangi orang ini untuk membunuhnya saat (kalian) melihat aku menahan tanganku untuk membai'atnya?" Mereka berkata, "Kami tidak tahu apa yang ada di hati Anda, ya Rasulullah. Mengapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami dengan mata?" Beliau bersabda, "Tidak pantas bagi seorang Rasul untuk membunuh seseorang dengan isyarat matanya."
(Dishahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Abu Dawud, 2334). 


Dalil ini menerangkan bahwa orang yang murtad karena menghina tidak diterima tobatnya, bahkan wajib dibunuh meskipun dia datang dalam keadaan bertobat.

Disebutkan bahwa Abdullah bin Sa’d adalah salah satu penulis wahyu, kemudian dia murtad dan mengklaim bahwa dia telah menambah sesuatu dalam penulisan wahyu sesuai dengan keinginannya. Ini adalah dusta dan mengada-ngada terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan termasuk bentuk penginaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia masuk Islam dan memperbaiki keislamannya. Semoga Allah meridhainya. (As-Sharim, 115)

Ulama yang berpendapat bahwa penghina Rasul tidak diterima taubatnya
berpendapat bahwa menghina Rasul terkait dengan hak manusia, dan sanksi bagi pelakunya tidak gugur dengan taubatnya seperti halnya sanksi terhadap kejahatan Zina, Mencuri, Membunuh, dsb. Kelompok Ulama ini lebih menitik beratkan penghinaan tersebut kepada hal yang dianggap perbuatan kriminal, bukan kekafirannya. Sedangkan Ulama lainnya berpendapat bahwa kekafiran mencela Nabi sama seperti kekafiran lainnya, oleh karena itu Taubatnya diterima dan sanksinya gugur.

Terkait dengan pemahaman yang lurus tentang hadist tersebut di atas bahwa, Orang yang menghina Rasul itu terklasifikasi dalam dua hal :

1. Karena perkara syar’i, yaitu karena beliau sebagai utusan Allah Ta’ala. Dan   dalam hal ini jika pelaku tersebut bertaubat maka taubatnya diterima.

2. Karena perkara pribadi, yaitu karena ia adalah salah satu dari para rasul dan karena hinaan kepada beliau adalah sama dengan fitnah kepada beliau. dari segi ini ia wajib dibunuh karena ini adalah hak rasul. Dan ia dibunuh setelah ia bertaubat meskipun ia adalah muslim. Pendapat inilah yang yang di pilih oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, karena hal ini adalah hak Rasul. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam kitabnya yaitu Ash Sharimul Masllul ‘Ala Syatimi Rasul.


Urusan pelakunya dimaafkan atau tidak itu merupakan hak Rasul dan hanya Rasul yang berhak memberi maaf atau tidak. Maka tak ada seseorang selepas peninggalan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberi hak istimewa untuk memaafkan. Ada sebagian manusia yang mencela Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan taubatnya diterima tanpa dibunuh, tetapi ini adalah pada waktu Rasulullah masih hidup dan telah mengguggurkan haknya. Akan tetapi disaat ini pemaafan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tidak bisa, karena beliau telah wafat, maka siapa di antara ummat yang diberi hak untuk memberi maaf atas hak hanya khusus dimiliki Nabi Shalallahu 'alayhi wassallam? dari situ maka tersisalah hukum bunuh bagi para pencela. Juga setelah beliau meninggal, kita tidak tahu apakah beliau mengguggurkan haknya atau tidak. Maka kita hanya menjalankan apa yang kita pandang wajib terhadap hak orang yang menghina beliau.

Seseorang yang menghina Rasulullah hendaknya dieksekusi meski pun ia telah menyatakan taubat, terlepas apakah ia seorang Muslim atau pun nonmuslim. Adapun taubatnya diterima ataupun tidak, ia terserah kepada Allah Ta’ala. Tetapi, hukuman tetap hukuman. Ia sebagaimana dalam bab zina dan sebagainya juga, jika telah thabit kesalahan tersebut dengan ukuran2 syariatnya, maka dihukum dengan hudud. Adapun taubatnya, maka diserahkan kepada Allah Ta’ala Apa yang dibahaskan adalah tentang hukuman terhadap pencela. Tetapi jika dia bertaubat secara sungguh-sungguh dan menyesal atas apa yang dia perbuat, maka taubat itu akan memberinya keringanan di akhirat dan Allah akan memaafkannya. 

Makna dari surah at Taubah(9):66

﴿لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ﴾

Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman. (QS at-Taubah [9]: 66). Bahkan, lebih dari itu, Islam nyata-nyata menolak tobat (permintaan maaf) mereka—seandainya mereka bertobat atas hujatannya terhadap Rasulullah saw. Hal ini menunjukkan kekhususan atas hukum orang yang mencela atau menghujat Nabi saw. Artinya, meskipun orang-orang yang menghujat Nabi saw. itu bertobat dan meminta maaf, maka tetap atasnya diberlakukan hukuman mati! Allah Swt. menjelaskan penolakan tobat (permintaan maaf) mereka di dalam firman-Nya:

﴿سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ﴾
Sama saja bagi mereka, kamu memintakan ampunan atau tidak bagi mereka. Allah tidak akan mengampuni mereka. (QS al-Munafiqun [63]: 6)


Yang berhak menghukum penghina Nabi maupun Islam


Ulama telah bersepakat bahwa penghina Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam hukumannya adalah dibunuh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Sharimul Maslul,
إن من سب النَّبي صلى الله عليه وسلم من مسلم أو كافر فانه يجب قتله هذا مذهب عامة أهل العلم. قال ابن المنذر: أجمع عوام أهل العلم على أن حدَّ مَن سب النَّبي صلى الله عليه وسلم القتل وممن قاله مالك والليث واحمد وإسحاق وهو مذهب الشافعي قال :وحكي عن النعمان لا يقتل -يعني الذمي- ما هم عليه من الشرك أعظم
“orang yang mencela Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam baik Muslim atau kafir ia wajib dibunuh. Ini adalah madzhab mayoritas ulama. Ibnu Munzir mengatakan: mayoritas ulama sepakat bahwa hukuman bagi pencela Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah dibunuh. Diantara yang berpendapat demikian adalah Malik, Al Laits, Ahmad, Ishaq, dan ini juga merupakan pendapat madzhab Syafi’i. Ibnul Munzir juga berkata: dan diriwayatkan dari An Nu’man bahwa ia berpendapat pencela Nabi (jika kafir dzimmi) tidak dibunuh, karena justru mereka sudah memiliki hal yang lebih parah yaitu kesyirikan”
Ini juga berlaku bagi orang muslim yang belum bertaubat (menurut satu pendapat). Karena mereka dikatakan dengan “kafir sesudah beriman” sebagaimana dalam firman Allah,
قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ* لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS. At-Taubah: 65 – 66).
Demikian juga orang kafir. Maka mereka akan mendapat hukuman dibunuh jika mencela nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu,
أَنَّ يَهُوْدِيَّةً كَانَتْ تَشْتِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيْهِ، فَخَنَقَهَا رَجُلٌ حَتَّى مَاتَتْ فأَبْطَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمَهَا.
Seorang wanita Yahudi mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencaci maki beliau, kemudian seorang laki-laki mencekiknya sampai mati, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan (hukuman atas) penumpahan darah wanita itu” (Sunan Abi Dawud (XII/17, no. 4340), al-Baihaqi (IX/200), dinilai jayyid oleh Syaikhul Islam dalam Sharimul Maslul).
Memang hukuman bagi penghina NabiShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan penghina Islam adalah dibunuh dan halal darahnya. Akan tetapi bukan berarti boleh membunuhnya secara zhalim dan tanpa hak. Islam adalah agama yang adil dan penuh rahmah. Yang bisa mengeksekusi pembunuhan adalah ulil amri yang sah dengan keputusan dari hakim, yang memang memiliki hak untuk memberikan hukuman. Hukuman yang diberikan pun harus sesuai dengan tuntunan syariat, karena Islam telah mengatur masalah pemberian hukuman termasuk kadar dan jenis hukuman yang penuh hikmah dan jauh dari kezaliman. Jadi bukan dengan pembunuhan yang serampangan semisal dengan menyembelih secara keji atau menembak secara membabi buta.

mam An Nawawi dalam Al Majmu‘ berkata:

أما الأحكام: فإنه متى وجب حد الزنا، أو السرقة، أو الشرب، لم يجز استيفاؤه إلا بأمر الإمام، أو بأمر من فوض إليه الإمام النظر في الأمر بإقامة الحد، لأن الحدود في زمن النبي صلى الله عليه وسلم وفي زمن الخلفاء الراشدين ـ رضي الله عنهم ـ لم تستوف إلا بإذنهم، ولأن استيفاءها للإمام
“adapun mengenai masalah hukum, ketika seseorang sudah layak dijatuhi hadd (hukuman) zina, atau mencuri atau minum khamr maka tidak boleh mengeksekusinya kecuali atas perintah imam (penguasa). Atau atas perintah dari orang yang mewakili imam dalam menegakkan hadd. Karena hukuman-hukuman di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga di zaman Khulafa Ar Rasyidin radhiallahu’anhum tidak dieksekusi kecuali atas izin mereka, dan karena hak untuk memunaikannya ada di tangan imam (penguasa)”.

Syaikh Abdurrahman al-Barrak hafidzahullah mengatakan:
وإن كان السابّ معاهداً كالنصراني كان ذلك نقضاً لعهده ووجب قتله ، ولكن إنما يتولى ذلك ولي الأمر
“Jika orang yang mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin, misalnya  orang Nasrani, maka dia ini berarti telah membatalkan kesepakatan damai dengannya, sehingga wajib dibunuh. Akan tetapi, yang melakukan hal itu adalah pemimpin”

fatwa syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah,
السائل: هل يجوز اغتيال الرسام الكافر الذي عرف بوضع الرسوم المسيئة للنبي صلى الله عليه وسلم؟
Penanya: Bolehkah membunuh kartunis kafir yang terkenal dengan membuat kartun yang menghina Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam?

beliau menjawab:
هذا ليس طريقة سليمة الاغتيالات وهذه تزيدهم شرا وغيظا على المسلمين لكن الذي يدحرهم هو رد شبهاتهم وبيان مخازيهم وأما النصرة باليد والسلاح هذه للولي أمر المسلمين وبالجهاد في سبيل الله عز وجل نعم
“Ini bukanlah metode yang benar dalam membunuh. Hal Ini akan menambah keburukan dan kemarahan mereka kepada kaum muslimin. Akan tetapi, cara menolak mereka adalah dengan membantah syubhatnya dan menjelaskan perbuatan mereka yang sangat memalukan tersebut. Adapun membela (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dengan tangan dan senjata, maka ini hanyalah untuk para pemerintah kaum muslimin dan hanya melalui jihad di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. demikian“. (Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/1960).

Adapun masyarakat mengambil tindakan sendiri dengan melakukan penyerangan tanpa memenuhi syarat-syarat jihad maka tidak boleh. Namun masyarakat hendaklah berdakwah dan membantah kebatilan mereka.
Asy-Syaikh Prof. DR. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata,

هذا ليس طريقة سليمة الاغتيالات وهذه تزيدهم شرا وغيظا على المسلمين لكن الذي يدحرهم هو رد شبهاتهم وبيان مخازيهم وأما النصرة باليد والسلاح هذه للولي أمر المسلمين وبالجهاد في سبيل الله عز وجل نعم
“Penyerangan-penyerangan ini bukan jalan yang tepat untuk menghadapi para penghina Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, cara seperti ini hanya menambah kejelekan dan kebencian mereka terhadap kaum muslimin, tapi hendaklah dihadapi dengan membantah kerancuan penyimpangan dan menjelaskan kesalahan mereka. Adapun menghadapi dengan kekuatan dan senjata adalah tugas pemerintah muslim dan dilakukan dalam Jihad di jalan Allah ‘azza wa jalla.” [Dari Website Resmi Al-Fauzan hafizhahullah]

Cara bertaubat dari mengolok olok agama

Allah Ta’ala menyatakan bahwa sesungguhnya senda gurau dan permainan mereka ini adalah  mengolok-olok Allah Ta’ala, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya, dan sesungguhnya telah kafir dengan-Nya, firman Allah Ta’ala:  
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [at- Taubah/9 : 65-66].
Maka mengolok-olok agama Allah Ta’ala, atau mencela agama Allah Ta’ala, atau mencela Allah Ta’ala dan rasul-Nya, atau mengolok-olok keduanya adalah kufur yang mengeluarkan dari agama.
 Kendati demikian, sesungguhnya ada jalan untuk bertaubat darinya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53) وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (54)

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar: 53-54).
Apabila seorang manusia bertaubat dari kemurtadan apapun dan taubatnya adalah taubat nashuha, serta memenuhi lima syarat taubat, maka sesungguhnya Allah Ta’ala menerima taubatnya

Lima syarat taubat itu adalah:

Pertama; Ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dalam taubatnya.

Maksudnya, yang mendorong dia untuk bertaubat itu bukan riya’ (supaya dilihat orang), sum’ah (supaya didengar orang), bukan pula karena takut kepada makhluk ataupun mengharapkan dunia. Jika dia mengikhlas taubatnya untuk Allâh Azza wa Jalla dan yang mendorongnya untuk bertaubat adalah ketakwaannya kepada Allâh Azza wa Jalla , takut terhadap siksa-Nya dan keinginan untuk meraih pahala dari-Nya, itu berarti dia benar-benar telah ikhlas.

Kedua; Menyesali perbuatan dosa yang telah dia lakukan.

Dia mendapati rasa sesal dan perasaan sedih yang mendalam atas perbuatan buruk yang telah dia lakukan dan menganggapnya sebagai sebagai kesalahan besar yang harus dia singkirkan dari dirinya.

Ketiga; Berhenti dari perbuatan dosa, yaitu dengan tidak melanjutkan perbuatan dosa tersebut.

· Jika perbuatan dosa itu berupa perbuatan meninggalkan kewajiban, maka dia harus bergegas melakukan kewajiban tersebut dan berusaha mengganti yang telah lewat, jika memungkinkan.
· Jika perbuatan dosa itu berupa melakukan perbuatan yang diharamkan, maka dia harus berhenti dan menjauhkan diri darinya.
· Jika perbuatan dosa itu terkait dengan hak sesama manusia, maka dia harus menunaikan hak itu atau meminta kerelaan orang yang memiliki hak itu untuk menghalalkannya.

Keempat; Bertekad kuat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa itu di masa-masa yang akan datang.

Kelima; Taubat itu dilakukan saat pintu taubat masih terbuka. Jika pintu taubat sudah tertutup, artinya masanya sudah terlewatkan, maka taubatnya tidak akan diterima. Tertutupnya pintu taubat itu ada dua; ada yang bersifat umum dan bersifat khusus.
Yang bersifat umum yaitu ketika matahari terbit dari arah barat. Ketika itu terjadi, maka taubat dari siapapun tidak akan diterima. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan Malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Rabbmu atau kedatangan beberapa ayat Rabbmu (beberapa tanda kedatangan hari kiamat). Pada hari datangnya ayat (tanda kiamat itu) dari Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. [Al-‘An’am/6:158]

Sedangkan yang bersifat khusus yaitu ketika ajal telah datang. Ketika kematian (sekaratul maut) mendatangi seseorang, maka taubatnya ketika itu tidak bermanfaat sama sekali. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Dan tidaklah taubat itu diterima oleh Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’ dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. [An-Nisa’/4:18]

Saya (Syaikh ibnu ‘Utsaimin) katakan: sesungguhnya apabila manusia bertaubat –sekalipun hal itu adalah mencela agama- maka sesungguhnya taubatnya diterima apabila syarat-syarat yang telah kami sebutkan telah terpenuhi.
[Syaikh Bin Utsaimin – Majmu' Fatawa wa rasa`il (2/152)]

Beliau Rahimahullah juga mengatakan:

Setiap orang yang mengolok-olok/ menghina Allah, atau Rasul-Nya, atau agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya dia kafir murtad. Wajib atasnya untuk bertaubat kepada Allah. Apabila ia bertaubat kepada Allah maka Allah menerima taubatnya. Karena firman Allah terhadap mereka yang mengolok-olok itu:

لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ(66)

Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema`afkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS At-taubah/ 9: 66).
Allah menjelaskan bahwa Dia mengampuni segolongan dari mereka, dan itu tidak terjadi kecuali dengan taubat kepada Allah dari kekafiran mereka yang tadinya karena olok-olokan mereka itu kepada Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya.
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Mausu’ah al-Fatawa al-Islamiyyah, Az-Zuhri lilbaromajiyyat, Kairo, tt.)


Jika sudah bertaubat, haruskah ia menceritakan aib(dosa)nya tersebut kepada penguasa untuk menghukumnya?

Hukuman dalam Islam hanya berlaku bagi orang orang yang kepergok melakukan suatu perbuatan dosa. Hukum hadd merupakan tugas pemerintah yang menerapkan hukum Islam. Walaupun hadd bisa menjadi penghapus dosa, tetapi lebih diutamakan untuk si pendosa untuk menutupi 'aibnya tersebut. 


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ تَسْرِقُوا وَلاَ تَزْنُوا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلاَ تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِك
Ketika di sekeliling beliau ada sekelompok sahabatnya, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berjanji setialah kamu kepadaku, untuk tidak akan mempersekutukan Allah Azza wa Jalla dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak kamu dan tidak berbuat dusta sama sekali serta tidak bermaksiat dalam hal yang ma’rûf. Siapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah Azza wa Jallaakan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman di dunia, maka hukuman itu adalah kafarah (penghapus dosanya). Dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi oleh Allah Azza wa Jalla kesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah Azza wa Jalla; kalau Dia menghendak,i diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki, disiksa-Nya.” [Muttafaqun ’alaih: Fat-hul Bâri I/ 64 no: 18, Muslim 3/1333 no: 1709 dan an-Nasâ’i 7/148]

Dalam Islam kita lebih diperintahkan untuk menutupi aib(dosa) kita ketika kita melakukan dosa.

Nabi bersabda dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari:

كُلُّ أَمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ 

Artinya: Seluruh umatku diampuni kecuali al-mujahirun (orang yang terang-terangan berbuat dosa), dan termasuk bentuk Mujaharoh (terang-terangan dalam berbuat dosa) adalah seseorang berbuat dosa pada malam hari, kemudian pada pagi hari dosanya telah ditutup oleh Allah, dia berkata: "Wahai fulan semalam aku telah melakukan seperti ini dan ini (menceritakan dosanya)." Allah telah menutupi dosanya di malam hari, tetapi dia membuka kembali dosa yang telah ditutup oleh Allah tersebut. 
Demikian disebutkan oleh Syekh Ibrahim Al-Baijuri sebagai berikut:

يُسَنُّ لِلزَّانِي وَلكُلِّ مَنْ ارْتَكَبَ مَعْصِيَةً أَنْ يَسْتُرَ عَلَى نَفْسِهِ: مَنْ أَتَى مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْأً فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ تَعَالَى، فَإِنَّ مَنْ أَبْدَى لَنَا صَفْحَتَهُ أَقَمْنَا عَلَيْهِ الْحَدَّ رواه الْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ. ويَتُوبَ بَيْنَه وبَيْنَ اللهِ تعالى فإِنَّ اللهَ يُقْبِلُ تَوْبَتَه إِذَا أَخْلَصَ نِيَّتَه

Artinya, “Pelaku zina dan orang yang melakukan maksiat lainnya disunahkan menutupi aib dirinya. Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang melakukan perbuatan keji, hendaklah menutupi (aib) dirinya dengan tutupan Allah SWT. Sedangkan orang yang menampakkan ‘muka’-nya di hadapan kami, niscaya kami akan menegakkan hudud baginya,’ HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik. Ia juga disunahkan untuk bertobat atas dosanya kepada Allah. Allah akan menerima pertobatannya bila mengikhlaskan niatnya,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1999 M/1420 H, cetakan kedua, juz II, halaman 430).

perintah untuk merahasiakan perbuatan keji bukan perintah sunah seperti pandangan Madzhab Syafi’I, tetapi merupakan perintah wajib sebagai keterangan Muhammad bin Yusuf bin Abil Qasim Al-Abdari penulis Kitab At-Taj wal Iklil li Mukhtashar Khalil:

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَصَابَ مِنْ مِثْلِ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ  قَالَ فِي التَّمْهِيدِ : فِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ السِّتْرَ وَاجِبٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ إذَا أَتَى فَاحِشَةً ، وَوَاجِبُ ذَلِكَ أَيْضًا فِي غَيْرِهِ

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melakukan sesuatu dari yang semisal perbuatan yang keji, maka hendaknya ia merahasiakannya dengan tutupan Allah.’ Dalam Kitab At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr berkata bahwa hadits ini menunjukkan bahwa ketika seorang Muslim melakukan perbuatan yang keji wajib baginya menutupinya, dan begitu juga menutupi orang lain,” (Lihat Muhammad bin Yusuf bin Abil Qasim Al-Abdari, At-Taj wal Iklil li Mukhtashar Khalil, Beirut, Darul Fikr, 1398 H, juz VI halaman 166).

ada beberapa ayat dan hadits tentang menutupi aib (kesalahan) selama tidak ada maslahat untuk membukanya.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sepantasnya setiap orang merahasiakan aibnya (kesalahannya) serta memuji Allah subhanahu wa ta’alaatas keselamatan yang Dia subhanahu wa ta’ala anugerahkan padanya. Hendaknya ia bertobat kepada-Nya subhanahu wa ta’ala antara dia dan Rabbnya. Jika dia telah bertobat, Allah subhanahu wa ta’ala mengampuninya dan menutupi kesalahannya di dunia dan akhirat.” (Syarah Riyadhus Shalihin Bab Menutupi Aib Sesama Muslim)


Cara minta maaf kepada Rasulullah

Ada yang bertanya, “bagaimana cara meminta maaf kepada rasulullah, jika dahulu pernah merendahkan Rasulullah? Sangat malu jika berurusan dengan Rasulullah di akhirat kelak.” 
Mengingat tidak adanya dalil tegas yang menerangkan pemberian maaf dari Nabi untuk orang orang yang menghinanya. Maka kita jawab dengan hadith Rasulullah yang berbunyi:

التَّائِبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ
"Orang yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak memiliki dosa." (HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi)

Dan karena sudah bertaubat, maka dianjurkan untuk mengikuti sunnah sunnahnya, bershalawat untuknya, dll. Karena  Adapun kalau kalau orang yang kita zhalimi itu sudah tidak kita ketahui dimana tinggalnya atau kalau dia telah meninggal dan kita tidak sempat untuk meminta maaf kepadanya maka -secara ringkas- berikut amalan yang bisa kita lakukan:
1. Banyak-banyak minta ampun kepada Allah.
2. Menyesali kezhaliman yang telah dia lakukan kepada orang tersebut.
3. Banyak-banyak meminta ampunkan orang yang telah dia zhalimi.
4. Menyebut-nyebut kebaikan orang yang telah dia zhalimi itu di berbagai kesempatan, terkhusus di depan orang-orang yang dulunya dia menzhalimi orang tersebut di hadapan mereka.
5. Banyak-banyak bersedekah, karena “sedekah itu menghapuskan kesalahan-kesalahan seperti air mematikan api.” (HR. At-Tirmizi)


Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar, hlm. 1/346

فإن كان صاحب الغيبة ميتاً أو غائباً ، فقد تعذر تحصيل البراءة منها ، لكن قال العلماء : ينبغي أن يكثر الاستغفار له ، والدعاء ، ويكثر من الحسنات . 

Artinya: Apabila orang yang pernah digosipi itu mati atau tidak diketahui keberadaannya sehingga tidak bisa meminta maaf padanya, maka ulama berpendapat: Hendaknya penggosip memperbanyak istighfar padanya, mendoakannya, dan memperbanyak berbuat kebaikan. 
Begitu juga jika dahulu pernah mencela atau merendahkan Rasulullah, maka dianjurkan untuk bershalawat untuknya, memujinya, menjalankan sunnah sunnahnya, Dll.


Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa:

Adapun cara bertaubat bagi orang yang menghina agama Islam adalah dengan memuji agama Islam, menyesali perkataan kufurnya, bertekad untuk tidak mengulanginya, memperbanyak istighfar, dan kembali kepada (ajaran) Allah Ta'ala. Seandainya Allah menilai bahwa taubat yang dilakukannya itu dari hati yang tulus, maka Allah akan menerimanya. Dialah Dzat Yang Maha Menerima taubat, lagi Maha Penyayang.

Mencela agama karena marah atau salah ucap


Mencela agama karena marah:

Jika ucapan penghinaan itu terucapkan dalam kondisi sangat marah sehingga membuatnya tidak menyadari ucapannya bahkan tidak menyadari dimana dia sedang berada, maka ketika itu ucapannya tidak berkonsekuensi hukum. Orang ini tidak dijatuhi vonis murtad atau kafir. Karena ucapan itu terlontar begitu saja, tanpa ia sadari dan tanpa ada kesengajaan untuk mengucapkannya. Semua ucapan yang terlontar begitu saja tanpa diawali dengan keinginan dan kesengajaan, maka Allâh Azza wa Jalla tidak akan menyiksa orang yang berucap dengan sebab ucapannya itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Allâh tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allâh menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun [Al-Baqarah/2:225]
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ
Allâh tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja (QS. Al-Maidah/5:89)

Namun, jika seseorang merasa dirinya sudah mulai emosi dan marah, seyogyanya dia segera menurunkan tensi amarahnya dengan wasiat Rasûlullâh n ketika ada seseorang yang berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Berilah wasiat kepadaku!” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَغْضَبْ (Janganlah kamu marah!)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi beberapa kali, “Janganlah kamu marah!”

Hendaklah dia menjaga dirinya, dengan memohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla dari segala bisikan syaitan yang terkutuk. Jika dia emosi dalam keadaan berdiri, segeralah duduk. Jika dia dalam posisi duduk, hendaklah segera berbaring. Jika emosi kian membara, lawanlah dengan berwudhu’.

Langkah-langkah di atas bisa menghilang kemarahan dari seseorang. Jika tidak, penyesalanlah yang akan menghampiri. Betapa banyak orang yang didera rasa sesal yang begitu mendalam setelah melampiaskan emosi.
Semoga kita semua senantiasa dalam perlindungan Allâh Azza wa Jalla .


Mencela agama tanpa tujuan atau karena salah ucap:

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya tentang orang yang tidak sengaja mencela agama atau salah ucap, antara hati dan lidahnya berbeda, beliau t menjelaskan, “orang yang mencela agama maka dia telah kafir, baik dia benar-benar memang sengaja mencela ataupun hanya sekedar untuk bergurau, kendatipun dia masih menganggap dirinya seoang Mukmin. Sejatinya dia sudah bukan Mukmin lagi. Bagaimana dia mengaku beriman kepada Allâh Azza wa Jalla , kitab-Nya, rasul-Nya dan agama-Nya sementara ia melakukan celaan terhadap agama-Nya?
Bagaimana dia mengaku beriman, sementara lisannya mencela agama yang Allâh Azza wa Jalla jelaskan dalam firman-Nya:

وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. [Al-Mâidah/5:3]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman tentang Islam ini:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali Imrân/3:85]
Juga berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allâh hanyalah Islam. [Ali Imrân/3:19]
Orang yang sengaja mengucapkan kata celaan terhadap agama ini, baik dia bersungguh-sungguh untuk mencela ataupun sekedar untuk bersenda gurau, maka dia telah kafir, keluar dari agama Islam. Dia wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla.
Alhamdulillah, agama ini telah sempurna, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. [Al-Maidah/5:3]
Agama ini juga merupakan karunia teragung dari Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla di atas.

Jika ada seseorang yang mencelanya, meskipun sekedar bergurau, maka dia dihukumi kafir. Dia wajib bertaubat, menarik diri dari semua yang dia perbuat dan kembali mengagungkan agama ini dalam hatinya, sehingga dia beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengannya dan tunduk kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjalankan syari’at agama ini.

Adapun mengenai orang yang salah ucap (sabqun lisan), misalnya, dia ingin memuji agama ini, tapi dia salah ucap, justru yang terucap kalimat celaan, maka orang yang seperti ini tidak hukumi kafir. Karena dia tidak sengaja mengucapkan celaan itu, berbeda dengan orang yang sengaja mengucapkan kalimat celaan, meskipun untuk tujuan bergurau. Orang yang sengaja berucap ini sudah ada niatan dalam hatinya untuk mengucapkannya, sehingga hukumnya disamakan dengan orang yang memang benar-benar mencela. Sedangkan yang tidak sengaja berucap, tidak terbetik dalam hatinya untuk mengucapkannya, sehingga ketika terucap kata celaan, maka celaan itu tidak membahayakannya.

Dalam hadits shahih dijelaskan tentang sebuah kisah:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
Sungguh Allâh Azza wa Jalla lebih bahagia dengan taubat seorang hamba ketika dia bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla  dibandingkan kebahagiaan yang dirasakan oleh seseorang yang sedang berada disebuah tanah tandus gurun, lalu hewan tunggangannya itu hilang, padahal bekal makanan dan minumannya berada pada hewan tersebut. Akhirnya ia berputus asa. Lalu dia mendatangi sebatang pohon, dia berbaring dibawah bayangan pohon tersebut dalam keadaan putus asa. Ketika dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba hewan tunggangannya yang carinya itu ada didekatnya. Melihatnya, dia bergegas memegang tali kekang hewan tunggangannya itu kemudian karena sangat bahagianya, dia mengatakan, “Wahai Allâh! Engkaulah hambaku dan akulah Rabbku.” Dia salah ucap karena saking gembiranya. (HR. Muslim, no. 2747)

Orang ini tidak disiksa, karena ucapan yang terlontar tidak sengaja diucapkan, terlontar begitu saja karena terlalu gembira. Ucapan seperti ini tidak membahayakan orang yang mengucapkannya.

Kita harus membedakan antara sengaja atau tidak sengaja mengucapkan dengan sengaja atau tidak sengaja menghina. Karena dalam masalah ini, para pencela itu terbagi menjadi tiga tingkatan:

1. Orang yang sengaja mengucapkan dan sengaja mencela. Ini dia berarti benar-benar mencela, sebagaimana celaan yang dilakukan para musuh Islam terhadap Islam.
2. Orang yang sengaja mengucapkan kalimat celaan tapi tidak bermaksud mencela, misalnya untuk tujuan candaan, bukan bermaksud mencela. Orang seperti ini hukumnya sama dengan orang yang pertama. Dia dihukumi kafir, karena apa yang dia lakukan itu adalah penghinaan dan celaan.
3. Orang yang tidak sengaja mengucapkan kalimat celaan, apalagi bermaksud mencela. Celaan yang keluar dari mulutnya, terlontar begitu saja, tanpa ada niatan mencela sama sekali. Orang yang seperti inilah yang tidak akan disiksa karena ucapannya yang terlontar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Allâh tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allâh menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun [Al-Baqarah/2:225]    

Penutup

Segi Rububiyyah (Ketuhanan), Risalah (kerasulan), wahyu, dan agama adalah segi muhtarom (yang dihormati). Tidak boleh seseorang bermain-main padanya, tidak boleh dengan olok-olokan, tidak dengan penertawaan, dan tidak dengan penghinaan. Kalau orang mengerjakannya, maka dia jadi kafir, karena dia menunjukkan atas penghinaannya kepada Allah, para Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan syari’at-Nya. Orang yang mengerjakan itu wajib bertaubat kepada Allah dari apa yang ia perbuat, karena hal ini termasuk kemunafikan, maka wajib dia bertaubat kepada Allah, minta ampun dan memperbaiki amalnya, dan menjadikan di dalam hatinya takut Allah, mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, dan mencintai-Nya.

(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Mausu’ah al-Fatawa al-Islamiyyah, Az-Zuhri lilbaromajiyyat, Kairo, tt.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Imam Mahdi itu siapa?

﷽ ‎ Dalam Islam, memang dikenal berbagai macam kisah-kisah. Mulai dari heroik, kepahlawanan, bahkan tak jarang, cerita futuristik. Pada dasarnya, kita tidak mengetahui bahwa kisah itu benar atau tidak, kecuali setelah melalui cara pengujian validitas. Dalam beberapa kajian, kisah terkadang dilihat bukan semata persoalan valid atau tidaknya. Akan tetapi, bagaimana kisah, cerita tersebut berfungsi secara efektif sebagai basis pembenaran atas sebuah keyakinan. Terkadang keyakinan tersebut, bisa berasal dari kepentingan politis kelompok tertentu. Dari sini lah, certia, mitos berfungsi sebagai pembenaran atas keyakinan dan asumsi bagi para pembaca, pendengar. Kisah Imam al-Mahdi termasuk di antara kisah terpopuler. Kemunculan Imam al-Mahdi diyakini merupakan salah satu tanda akhir zaman, hari kiamat. Sosok al-Mahdi merupakan sosok misterius, namun sekaligus selalu dinantikan. Sebagaimana terlihat dalam namanya,  “al-Mahdi al-Muntazhar” . Sosok al-Mahdi tercantum dalam hadis N

Perbedaan Hudud, Qishash, Jinayat, Ta'zir, dan Mukhalafah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم Hudud Segala ketentuan, batasan, dan bahkan mekanisme penerapan hukuman had telah dibicarakan dalam nash, ada dalam Qur'an dan/atau Hadits. Dan hak Allah lebih dominan. mengenai Had, Allah memiliki hak absolut dalam hukum. Semua elemen harus tunduk dan patuh dibawah aturannya. Manusia, baik korban, pelaku, bahkan negara harus mematuhi ketentuan ketentuan yang telah ditetapkan syariat. Mereka sekedar menjalankan apa yang telah diperintahkan terkait dengan hukum dan sanksinya. Jika misalnya, terjadi tindak pidana tuduhan zina, dan si penuduh tidak dapat mendatangkan saksi yang cukup, maka ia haruslah dihukum sesuai dengan ketentuan syara, meski si korban atau negara telah memaafkan perbuatan si penuduh tersebut. Qishash Segala ketentuan, batasan, dan bahkan mekanisme penerapan hukuman Qishash telah dibicarakan dalam nash, ada dalam Qur'an dan/atau Hadits. Hanya saja, Hukuman Qishash harus sepadan, sesuai den

Taubat Nasuha

﷽ ‎ by Dava Nesta Makna Taubat nasuha adalah kembalinya seseorang dari perilaku dosa ke perilaku yang baik yang diperintahkan Allah.  Taubat nasuha adalah taubat yang betul-betul dilakukan dengan serius atas dosa-dosa besar yang pernah dilakukan di masa lalu. Pelaku taubat nasuha betul-betul menyesali dosa yang telah dilakukannya, tidak lagi ada keinginan untuk mengulangi apalagi berbuat lagi, serta menggantinya dengan amal perbuatan yang baik dalma bentuk ibadah kepada Allah dan amal kebaikan kepada sesama manusia. Dosa ada dua macam: dosa pada Allah saja dan dosa kepada Allah dan manusia (haqqul adami). Cara tobat karena dosa pada Allah cukup meminta ampun kepada Allah sedang menyangkut kesalahan pada sesama manusia harus meminta maaf langsung kepada orang yang bersangkutan di samping kepada Allah.   Dalil dalil dasar taubat nasuha - QS Al-Maidah : 39 فمن تاب من بعد ظلمه وأصلح فإن الله يتوب عليه , إن الله غفور رحيم Artinya: Maka barangsiapa bertaubat (di